Saling Kunci

Anda pernah menyaksikan bela diri Jujitsu dipraktikkan? Sesaat sebelum menulis artikel ini, penulis tak sengaja menontonnya di sebuah stasiun televisi. Tampaknya, olah raga bela diri ini, salah satunya, menitikberatkan pada kemampuan individu mengunci lawan. Menguncinya lawan hingga tak berdaya.
Kalau dipikir-pikir, idealnya, pemain jujitsu yang terlibat dalam pertandingan, keahliannya sama. Karena mereka dipilih dari terbaik di antara atlit yang terbaik. Dan, sebelum pertandingan, mereka telah dilatih dengan keras. Dilatih jadi pemenang. Itu biasanya dilakukan dalam Training Camp (TC), dan berlaku di semua seni bela diri yang dipertandingkan.
Yang paling penting pula, potensi kemampuan yang dimiliki seorang jujitsu, karena mereka mempelajari seni bela diri dengan prinsip dan jurus yang sama. Sebab itu, dalam pertandingan bela diri, atau seni bela diri apapun, penulis beranggapan, kemenangan mungkin lebih ditentukan kemampuan individu memanfaatkan momentum. Melumpuhkan dan mengunci lawan saat lemah, dan lengah.
Pada pertandingan Jujitsu, permainan bisa saja seri. Terutama ketika dua petarung sama pandainya membaca gerakan lawan. Mereka akan terlibat saling kunci, hingga tak ada yang menang, dan kalah.
Sebenarnya, apa yang menarik dari sebuah pertandingan Jujitsu bagi penulis, tidak terletak pada pertarungan itu. Tapi prinsip kekuasaan yang hadir dalam pertarungan itu, kemenangan. Pertarungan Jujitsu menjadi potret relasi kuasa (lihat Foucault). Bagaimana individu menampilkan hasratnya untuk mengalahkan yang lain. Tapi pada fase tertentu, terjadi relasi sama kuat, petarung saling kunci, hingga satu ronde, biasa tak menghasilkan angka. Pertarungan seri.
Entah, apakah ketika Brandeis (1915) mengurai relasi saling kunci, ia usai menyaksikan pertarungan jujitsu. Ia pemikir ilmu komunikasi yang pertama kali mengenalkan hubungan saling mengunci. Tepatnya pada jaringan mengunci antara lembaga atau organisasi (interlocking directorate). Kalau disambung-sambungkan, pikirannya tentang relasi saling kunci, prinsipnya kurang lebih sama pada pertarungan Jujitsu. Relasi ini terjadi bila kekuatan berimbang. Hanya saja, pada relasi saling kunci di ranah sosial dan politik, kekuatan mengunci justru terletak pada kelemahan.
Oleh Brandeis, jaringan komunikasi interlocking directorate mengandung konflik kepentingan dalam perusahaan (politik). Relasi ini cenderung mengaburkan kebenaran. Kemudian, pada perkembangannya, tidak hanya relasi antara lembaga, para pengkaji relasi ini, rupanya bisa menguak hingga level lebih kecil dari organisasi. Pada Individu. Hubungan saling kunci antara lembaga, atau organisasi tak lebih, efek dari keterlibatan aktor yang representatif pada lembaga itu. Menurut Dahlan, dalam Antoni (2013), hubungan saling kunci antar individu sangat erat, yang didukung kedekatan-kedekatan tertentu yang dihasilkan dari hubungan-hubungan sebelumnya. Hubungan ini dilatarbelakangi faktor seperti, kedekatan keluarga, asal sekolah, perkumpulan atau organisasi, daerah asal, tempat kerja, aktivitas keagamaan, dan lain-lain. Fenomena jaringan ini bersifat fungsional, dan mengarah pada penyimpangan.
Hubungan saling kunci, berbeda dengan relasi ketergantungan, juga relasi patron dan klien. Saling kunci menunjukkan kedudukan setara yang menciptakan konsensus. Saling menguntungkan, dan saling menutupi perbuatan menyimpang. Jadi, alih-alih terjadi kontrol, justru terbangun kerjasama, yaitu menutupi penyimpangan. Bahkan, berikutnya, bisa berbagi sumber daya. Singkatnya, dalam relasi ini, rahasia atau kelemahan, kuncinya.
Meski begitu, relasi ini tidak alot. Sifatnya dinamis. Sewaktu-waktu, bila satu lembaga dan individu memiliki kekuatan lebih besar, hubungan tersebut akan renggang. Bila kepentingannya terancam, satu pihak, bisa saja mengeluarkan kartu “kunci”.
Pada masyarakat kita relasi ini tampak sudah lazim. Fenomenanya, bisa direkam dari komunikasi-komunikasi simbolik masyarakat di Sulsel. Seperti kalimat yang lazim di warung kopi, “satu jurusJaki boss”. Sehari-hari, kita biasa mendengar kalimat bernada candaan seperti itu, kan? Itu adalah bentuk komunikasi simbolik, merujuk pada makna; kita saling tahu sifat, karakter, dan perbuatan. Pada sehari-hari masyarakat penutur bahasa Tae’ di Luwu Raya, istilah ini sering pula diungkapkan. Di sana, orang biasa berujar pada kawannya, “Siissan JureKi’. Jure’, “corak” dalam bahasa Indonesia, kemudian Siissan, yaitu saling tahu. “Siissan Jure’ berarti saling tahu corak.
Bagaimana seseorang tahu persis corak sebuah benda. Selain pengetahuan luas. Dipastikan, orang itu memiliki pandangan yang teliti, juga detail. Coba bayangkan seseorang, tiba-tiba merasa tahu corak seekor ayam burik yang dipandangnya dari jarak jauh. Kalau pandangannya tidak tajam, yang mungkin, ia telah melihat ayam burik sama sebelumnya. Bisa jadi pula, ia pakar ayam burik. Tahu seluk beluk ayam burik, karena punya peliharaan ayam berbagai jenis, termasuk yang burik. Singkatnya, kenal sifat, karakater, dan perbuatan, seeekor ayam misalnya, karena memiliki pengetahuan atasnya. Pengetahuan yang lahir dari relasi intensif sebelumnya.
Nah, bisa dibayangkan, dalamnya pengetahuan, seorang yang tahu jurek atau corak kawannya. Sedalam pengetahuan, terhadap corak ayam burik. Istilah ini sama dengan makna istilah satu jurus. Sama-sama merujuk pada konsep komunikasi saling mengunci dua individu atau lebih. Nah, apakah anda melihat banyak fenomena ini di Indonesia? Kalau, ya. Pikirkan diri anda sekarang, bagaimana kelak, tidak terkunci dalam jaringan sosial, ekonomi, dan jaringan kekuasaan (politik). Tujuannya, satu. Memberi kepastian, negara ini akan lebih baik di masa mendatang.

Tinggalkan komentar